Persoalan Sampah Perlu Pelibatan Multipihak


PRABUMULIH, SS - Pada dasarnya, semua manusia menyukai kebersihan. Buktinya, semua orang senang membuang sampah ke luar rumah atau kendaraan. Persoalan, apakah sampah yang ia buang kemudian mengakibatkan tempat lain menjadi kotor, adalah persoalan berikutnya. Asalkan tempat tinggalnya atau kendaraannya menjadi bersih dan nyaman.

Dalam gerakan lingkungan kebiasan ini dikenal sebagai "sindroma nimby" atau "Nimby's syndrom" yang merupakan kependekan dari "Not In My Back Yard". Artinya, suatu sikap kurang peduli manusia terhadap sampah asalkan sampah tersebut sudah berada di luar rumahnya. Sampah akan dibiarkan saja di tepi jalan, kebun kosong, atau bahkan selokan dan sungai.

Pendapat di atas dikemukakan oleh Maiduity Fitriansyah, Plt Kadin Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kota Prabumulih kemarin (27 Februari 2023). Aktivis pecinta alam dari MAPALA Bhuwana Cakti ini menjadi salah satu narasumber pada kegiatan Cangkir Kopi (Berbincang dan Berpikir untuk Kota Prabumulih) yang pada kesempatan ini diniatkan memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Saat ini volume sampah yang masuk ke TPA Prabumulih sebanyak 60 ton per hari. Kurang lebih 10 ton per hari sampah dibuang tidak terolah, ada yang dibuang ke lahan kosong atau bahkan ke sungai. Sampah organik mendominasi. Hampir 80%. Ini problem besar karena berbeda dengan sampah anorganik yang sudah banyak tertangani oleh sektor informal, mulai dari pemulung sampai pelapak barang bekas. Bagaimana mengubah kebiasan masyarakat dalam mengelola sampah supaya persoalan sampah tertuntaskan dan masyarakat sejahtera dengan mengolah sampah.

Terkait kebiasaan buang sampah sembarangan, masih menurut Maiduty, pada dasarnya manusia bisa berubah. Selain melalui edukasi untuk mengubah cara pandang terhadap sampah, pengenalan teknologi sederhana untuk mengolah sampah mulai dari tingkat rumah tangga, juga diperlukan infrastruktur pendukung. Misalnya, ketersediaan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang umumnya berupa kontainer yang disediakan pemerintah. 

"Jangan sampai cara pandang terhadap sampah sudah membaik, tetapi karena tidak tersedia infrastruktur pembuangan sampah di sekitar pemukiman mereka, masyarakat akhirnya membuang sampah sembarangan lagi. Cara pandang yang baik pun kemudian menjadi abai. Akibatnya muncul banyak tempat pembuangan sampah (TPS) liar yang menjadi salah satu problem persampahan di Prabumulih Saat ini. Idealnya, minimal 1 RW memiliki 1 TPS resmi yang secara rutin diangkut oleh petugas kebersihan. Baru kemudian kita bisa mendorong masyarakat untuk mengolah sampah menjadi sumber ekonomi" 

Pernyataan ini dikuatkan oleh Yayuk Suhartati, Kasi Kajian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Prabumulih yang juga aktivis pecinta alam dari MAPALA STTL YLH Yogyakarta. "Secara ideal, kita sudah harus mulai mengurangi sampah sejak dari sumber. Artinya perlu dilakukan pemilahan sebelum kemudian masuk tahapan kumpulkan, jemput, dan buang. Tetapi untuk sampai ke sana kita perlu waktu."

Menurut Yayuk, beberapa kendala yang menghambat program pengurangan sampah antara lain ada pada kebijakan retribusi sampah kota yang belum mengikat seluruh warga untuk berpartisipasi, edukasi yang belum intensif, bahkan bisa kendala alam misalnya pandemi Covid-19 lalu yang mengubah kebiasaan baik pengurangan sampah. Misalnya, biasa membawa kotak makan dan botol minum, jadi kembali menggunakan makanan dan air minum dalam kemasan. Rapat-rapat atau hajatan yang biasa dilakukan dengan cara prasmanan, jadi hidangan dalam kotak sekali pakai, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, banyak juga praktik baik pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat di Prabumulih. Salah satunya terekam dalam program kampung iklim (Proklim) yang dicanangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). "Di setiap kampung iklim, usaha pengurangan dan pengelolaan sampah terintegrasi dengan pengembangan pertanian pekarangan yang menggunakan kompos dari sampah organik dapur. Program kampung iklim juga menekankan tidak ada penanganan sampah dengan cara bakar atau dibuang ke sungai. Semangatnya, ya zero waste dan zero emission", terang Yayuk.

*Sumber Cuan*

Berbicara praktik baik dalam pengelolaan sampah oleh masyarakat dipaparkan oleh Inggit Damayanti, aktivis pecinta alam dari MAPALA Universitas Bandar Lampung dan saat ini menjabat sebagai Kepala Bagian Organisasi di Sekretariat Daerah Kota Prabumulih. Sehari-hari Inggit adalah pelaku dan penggiat persampahan di kota Prabumulih.

Kelurahan Majasari menjadi salah satu percontohan dalam pengelolaan sampah ketika Inggit menjabat sebagai lurah. Insiatif Kali Bersih, pengolahan jelantah menjadi sabun, pengolahan kompos dan sedekah sampah plastik, menjadi praktik baik dalam pengelolaan sampah di kelurahan ini.

"Untuk mengurangi masalah sampah, mesti dimulai dari diri sendiri. Edukasi dimulai dari organisasi paling kecil, rumah tangga. Orang tua dan anak-anaknya mesti melakukan pemilahan hingga penanganan sampah secara aktif. Ada yang dipakai untuk kompos atau maggot dan pakan ayam, ada yang untuk ditabung ke Bank Sampah. Rumah kami tidak lagi menghasilkan sampah, "kata Inggit, "baik dari pintu depan maupun pintu belakang".

"Pelibatan masyarakat baru bisa dilakukan dengan membuat percontohan berbasis 10-20 rumah yang bertetanggaan. Untuk mengajak masyarakat, tidak cukup hanya dengan sosok contoh atau role-model, masyarakat juga perlu diyakinkan bahwa mengolah sampah juga menghasilkan uang. Cuan!" Kata Inggit sambil tersenyum.

Keuntungan ekonomi akan lebih cepat menarik minat masyarakat untuk menangani problem sampah. Misal dengan menjadi nasabah Bank Sampah. Inggit berhasil menggerakkan masyarakat umum dan membina Pekerja Harian Lepas (PHL) atau tenaga honorer di Kecamatan Prabumulih Selatan untuk aktif jadi nasabah bank sampah. Salah satu PHL binaan yang semula hanya mengumpulkan sampah anorganik dari rumahnya untuk disetor ke Bank Sampah, perlahan mulai mengambil sampah dari rumah-rumah tetangga, dan bahkan memungut sampah anorganik bernilai ekonomis yang dijumpai di jalan atau tempat umum. Kini, pendapatan rutinnya dari bank sampah sudah setara dengan honornya sebagai PHL per bulan. "Bayangkan jika hal ini dilakukan oleh 3.500 ASN se-Prabumulih? Semua menjadi role-model. Berapa besar dampak atau perubahan yang terjadi?"

*Kerjasama Multipihak*

Ridwan, penggiat pecinta alam dari MAPALA Alfedya FE Universitas Muhammadiyah Palembang yang hadir sebagai peserta penanggap mengemukakan pada dasarnya telah banyak inisiatif masyarakat untuk mengatasi masalah sampah di Kota Prabumulih. Salah satunya yang dilakukan pecinta alam yang tergabung dalam Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) di Prabumulih. 

"Karena di Prabumulih tidak ada sungai berarus deras yang bisa dilakukan untuk olahraga arung jeram, maka FAJI di Prabumulih melakukan kegiatan yang berbeda dengan FAJI di daerah lain. Orientasinya tidak pada sport atau olahraga, tetapi pada aksi sosial atau lingkungan hidup," Kata Ridwan. "Salah satunya dengan pembersihan sampah di sungai-sungai yang ada di Prabumulih. Insya Allah pada perayaan hari Bumi nanti kita akan melakukan hal serupa dengan target pembersihan sungai-sungai kecil di tengah pemukiman."

Menurut Ridwan, kerjasama dengan Dinas Perkim maupun DLH yang selama ini terjalin perlu terus dilakukan. "Aksi mengangkat sampah dari sungai, tidak bisa dilakukan sepotong. Mesti ada mitra yang mengangkut sampah dari sungai ke TPA atau Pusat daur ulang. Juga diperlukan edukasi ke masyarakat supaya tidak membuang sampah ke sungai.

Pengalaman kerjasama multipihak dalam mengatasi sampah perkotaan juga dirasakan oleh Andi Pay, aktivis pecinta alam dari MAPALA Universitas IBA Palembang. Bersama dengan warga kampung tempat ia tinggal, Andi kerap melakukan aksi bersih sampah di Sungai Muntang Tapus. Salah satu anak Sungai Kelekar yang melintasi kawasan pemukiman padat. Menurut Andi, "Penting juga kerjasama dan koordinasi yang rutin antara pemangku kepentingan bersama masyarakat supaya kegiatan pembersihan sampah di sungai dapat mengubah kebiasaan buang sampah sembarangan. Tentu aksi semacam ini tidak cukup dilakukan sekali dua kali, tetapi kalau terus-menerus dilakukan, berarti edukasinya belum berhasil mengubah cara pandang dan kebiasaan masyarakat."

Urun rembuk yang muncul dalam kegiatan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) atau biasa disebut Focus Group Discussion (FGD) ini berlangsung selama 2,5 jam dalam suasana hangat penuh keakraban. Perwakilan instansi pemerintah dan penanggap dari kalangan praktisi dan masyarakat terlihat tak berjarak. Salah satunya karena para pemapar dan penanggap pada gelaran pertama FGD Cangkir Kopi ini berasal dari kalangan pecinta alam yang memang memiliki ikatan persaudaraan sebagaimana kode etik pecinta alam. Meski demikian direncanakan, kegiatan Cangkir Kopi atau Berbincang dan Berpikir untuk Kota Prabumulih yang akan datang akan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat untuk menggali persoalan dan solusi bagi pembangunan Prabumulih, baik pembangunan fisik dan ekonomi kota, pembangunan manusia dan kerekatan sosial, maupun pelestarian alam.

Syamsul Asinar Radjam, penggagas dan moderator Cangkir Kopi gelaran pertama ini mengakui bahwa kegiatan ini dimaksudkan untuk mencapai 3 hal; 1) Membangun kerekatan antar para pemangku kepentingan (multi-stakehoders engagement) di Kota Prabumulih, 2) Mengidentifikasi isu dan permasalahan dalam pembangunan kota prabumulih sekaligus menjaring gagasan dan prakarsa untuk menjawab isu dan mengentaskan permasalahan tersebut, dan 3) Membangun budaya diskusi dan kultur intelektual di masyarakat Prabumulih.

Menurut anggota IMPALM Wahana Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup Sriwijaya yang sekarang aktif di Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) ini, usia kota Prabumulih masih sangat muda. Sebagai kota yang secara resmi baru terbentuk pada tahun 2001, Prabumulih masih pada tahapan berkembang, namun juga berhadapan dengan sejumlah problem khas urban sebagaimana kota lain. Baik itu problem kualitas lingkungan, problem kemiskinan, kapasitas kota dalam pengembangan dan pengelolaan perkotaan, maupun isu-isu global yang tak dapat dihindari. 

"Untuk itu kita perlu membangun kultur intelektual di Prabumulih sekaligus menghidupkan budaya begesah yang menjadi budaya lokal dalam mendiskusikan isu publik sehari-hari untuk menyokong pembangunan kota Prabumulih, baik pada urusan ekonomi, alam, dan manusianya. Semoga kelak dapat menghasilkan rumusan yang penting bagi para pemangku kepentingan lain di kota ini. Sebab, sebuah kota tidak muncul dalam semalam. Peradabannya terbangun dari sumbangan pemikiran banyak orang dan lintas generasi," tandas warga Prabumulih ini. (Lex) 



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.